Setiap pelajar
kebanyakan merasakan hal yang sama yaitu merasakan ingin segera memasuki
jenjang setingkat lebih tinggi. Ketika pelajar masih mengenakan seragam merah
putih mereka ingin mengenakan seragam putih biru. Ketika mereka sudah
mengenakan seragam putih biru itu , semakin lama mereka akan berfikir bagaimana
rasanya para kakak-kakak yang mengenakan seragam putih abu-abu yang terlihat
begitu mengesankan dan dewasa. Rasa seperti itu relatif akan kembali terasa saat
mereka sudah menginjak masa putih abu-abu itu. Biasanya itu akan muncul di awal
hingga pertengahan masa SMA. Dan ketika sudah memasuki detik-detik pelajar
merasa jenjang ini sangat sayang untuk ditinggal, ketika mereka merasa sulit
untuk meninggalkan teman bahkan guru yang ada di SMA tersebut, apalagi ketika
mereka sudah mulai bingung apa yang harus dilakukan setelah SMA ini ? kuliah ?
pasti. Jurusan? Sesuai apa yang sudah diambil saat itu, atau beberapa berfikir
untuk banting setir meninggalkan apa yang sudah diperoleh selama masa SMA dan
memilih jurusan yang berbeda 180derajat .
Kali ini saya,
aku, gue, awak akan menceritakan betapa strugllingnya saya ketika memasuki
jenjang itu. Jujur saya ambil jurusan bahasa saat SMA, masih beberapa bulan yang lalu sih saya
menyelesaikan jenjang SMA saya. Saya begitu yakin ketika saya memilih jurusan
bahasa yang tentunya bukan karena paksaan atau karena pasrah. Benar-benar
menata dengan benar sesuai bakat dan minat saya, bukan hanya unutk pemilihan
jurasan di SMA, saya bahkan sudah memikirkan apa yang akan saya ambil untuk
jenjang perkuliahan nantinya. Sastra tentunya.
Tapi banyak
sekali tekanan yang saya peroleh sejak saya masuk jurusan bahasa. Bukan tentang
pelajarannya. Saya juga pelajar yang merasakan kesusahan tapi kali ini bukan
dari internal saya. Tapi karena faktor eksternal yang dengan hebatnya bisa
mengguncang niat dan rencana saya yang sudah tertata rapi dari SMP. Mereka (baca
: Keluarga, teman,guru,teman dari teman orangtua, atau teman dari teman saya
sendiri) mengatakan “mau jadi apa masuk bahasa?” “sastra korea? Suka suju yang
sipit” itu ya”. Ya memang saya sudah merencanakan betapa inginnya saya
melanjutkan pendidikan di jurusan sastra korea. Apa yang salah? Itu yang
akhirnya saya simpulkan setelah banyak guncangan yang menerpa diri saya sejak
kelas 1 SMA.
Pembaca yang
mau membaca hal sepele ini, saya berharap, jangan menilai rendah apa yang
diinginkan seseorang. Menjadi seorang dokter atau jaksa bukan satu-satunya
tujuan terbaik dalam hidup seseorang. Bisa saja anak tersebut tenang dan tidak
tertekan ketika apa yang diinginkanya direndahkan tapi besar kemungkinan anak
tersebut merasa “oh ternyata apa yang aku inginkan selama ini bukanlah hal yang
hebat dan patut dibanggakan”. Ya, saya berpikiran seperti itu, bahkan lebih
negatif dari pada itu. Hingga pada akhirnya saya mengganti apa yang sudah saya
rencanakan matang-matang dengan pembicaraan lama dengan orang tua saya. Akhirnya
saya ingin melanjutkan di hubungan internasional, lalu saya berniat ke ilmu
komunikasi, tapi akhirya saya tau bahwa itu semua sedikit ada berbau politik
dan butuh jiwa enterpreneur yang tinggi. Saya pun mundur dari pilihan-pilihan
tersebut. Ketika mama saya bilang kenapa saya tidak mulai berfikir tentang
psikologi? Oke, saya percaya dengan orang tua saya dan mulai memikirkan
psikologi sebagai cadangan jurusan kuliah yang akan saya ambil. Disamping jurusan”
tersebut yang sudah berulang kali berubah, dalam hati kecil saya keinginan
untuk masuk di sastra korea masihlah ada tapi masih tersingkirkan dengan
omongan” orang yang betapa rendahnya jurusan tersebut. Hingga akhirnya saya memilih sastra inggris
atau jepang yang walaupun kurang lebih sama dengan apa yang saya rencanakan
sebelumnya. hingga pada akhirnya, saya semakin kuat walaupun banyak orang mengatakan betapa rendahnya keinginan saya. mungkin secara tidak langsung karena banyak orang mengatakan hal-hal seperti itu pada saya, saya semakin ingin menunjukkan bahwa persepsi orang bisa saja salah tentang ilmu bahasa. akhirnya ketika saya mulai menginjak detik-detik persiapan SNMPTN dan UN saya memantapkan hati saya untuk tetap pada sastra korea.